Maka Nikmat Tuhanmu yang manakah
yang kamu dustakan? Dia menciptakan manusia dari tanah yang kering seperti
tembikar. (QS. Ar-Rahman: 13-14)
Keniscayaan bagi nikmat adalah adanya
pengetahuan atasnya, jika tidak mana mungkin akan merasakan nikmat itu. Seperti
halnya anak berusia 4 tahun yang diberikan uang Rp. 3 milyar, tidak ada
kenikmatan yang ia rasakan akan tumpukan kertas-kertas yang malah hanya
menambah penuh ruangan saja. Begitu pula kita, sudah tahukah nikmat apa yang
terkandung dalam penciptaan manusia dari tanah? Kenapa mesti tanah? Inilah
salah satu alasan kenapa menuntut ilmu agama diwajibkan. (pelan-pelan yaa
bacanya...)
Manusia terdiri dari dua unsur yakni
jasad dan ruh. Manakah yang lebih dahulu diciptakan, jasad atau ruh? Ya, benar!
Ruh jauh lebih dulu diciptakan daripada jasad. Ketika itu Allah bertanya pada
ruh “siapakah Robmu?” dan ruh menjawab, “Siapa lagi Robku kalau bukan Allah”.
Dahulu kala ruh berada pada suatu
alam, dimana kita biasa menyebutnya dengan alam ruh. Alam ruh penuh dengan
kedamaian, ketenangan, dan ketentraman. Betapa tidak disana ruh dekat dengan
Robnya, disana yang ada hanya puji-pujian kepada Rob sang Maha Pencipta. Hingga
tiba pada suatu waktu Allah menurunkan manusia ke alam dunia. Ruh manusia
disatukan dengan jasad yang diciptakan dari tanah. Kenapa mesti disatukan
dengan jasad? (baca aja teruus sampai selesai...^^)
Semua manusia memiliki asal yang sama,
dari tanah yang kering dan keras. Adapun perbedaan rupa tiada lain untuk
kebaikan manusia itu sendiri. Bayangkan saja ketika semua tampilan fisik sama
(ga kebayang ribetnya.hehe...). Jadi sungguh keterlaluan bagi manusia yang
menyombongkan diri dengan penampilan fisiknya.
Berawal dari pertemuan sel sperma dan
ovum, kemudian membentuk janin di dalam rahim seorang ibu, pada usia kandungan
4 bulan bersatulah antara jasad dan ruh. Selama dalam alam rahim manusia tidak
memikirkan apa-apa, segala kebutuhannya terpenuhi tanpa usaha. Terlahir
kedunia, bayi manusia menangis kala lapar dan haus, mengusahakan agar kebutuhan
jasadnya terpenuhi. Begitulah ketentuan di alam dunia, terdapat tantangan bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan jasadnya. Terdapat pula gangguan yang
mengganggu terhadap ruhnya. Apa gangguan
itu? Suara musik salah satunya. Apakah suara musik benar mengganggu ruh kita?
Ya, simak saja ketika kita berusaha khusyuk dalam solat. Bunyi handphone mengacaukan
konsentrasi seketika itu pula.
Selanjutnya untuk menjawab kenapa ruh rindu pulang ke tempat asalnya? mari sekarang ambil
analogi ketika kita sudah terbiasa tinggal pada rumah yang megah, interior rumah
tertata istimewa, begitu juga tatanan halaman sungguh sangat asri dihiasi
warna-warni bunga, sementara dihalaman belakang terhampar biru kolam renang dan
dipinggirnya terdapat hiasan sungai kecil yang mengalir dan gazebo cantik.
Tidak hanya itu, para penghuni rumah istiqomah dalam solat, dzikir, dan gemar melantunkan
aya-ayat suci Al-Quran. Begitupun lingkungan sekitar beserta orang-orangnya.
Siapa yang tidak betah tinggal ditempat seperti itu? (no one!).
Namun pada suatu waktu, tiba-tiba
kita diharuskan menemani keponakan yang bekerja disuatu tempat, dimana tempat
tinggalnya berada di kawasan kumuh, di bantaran sungai yang kotor dengan
limbah. Selain itu orang-orang disekitarnya penuh egoisme, pemarah, suka
minum-minuman keras, berfoya-foya, di sana mau dakwah pun susah, belum-belum
mengajak solat berjamaah (misalnya) kita sudah dimarahi duluan. Episode itu
sudah barang tentu membuat tidak betah. Setiap ada kesempatan pastilah kita
bertanya pada keponakan, kapan kita pulang? Kapan kita kembali lagi ke tempat
asal yang sangat menyenangkan?
Ruh yang menemani jasad terikat oleh
kontrak waktu. Suatu saat jasad akan ditinggalkannya lagi, ruh pasti pulang ke
asalnya, yakni akhirat. Rasa ingin pulang itu otomatis ada dan tidak perlu
diusahakan. Bagaimana tidak otomatis, tempat asalnya ruh dahulu sangat luas dan
indah, jasad manusia yang tercipta dari tanah sebesar-besarnya pun tidak ada
yang melebihi 4 x 4 meter (hehe...). Sehingga otomatis ruh tidak akan betah
menempati jasad yang sangat sempit, belum lagi adanya tantangan-tantangan dan
gangguan-gangguan yang begitu banyak (baca: di alam dunia).
Pertanyaan intinya adalah, apakah
kita rindu pulang ke akhirat? Indikator untuk mengetahuinya sangat gampang. Antara
lain jika kita masih senang nonton bola, menyaksikan sinetron, nonton film, maen
games, membaca koran (padahal tahu atau tidak pun informasi itu, ga ada
hubungannya dengan kita), dan semacamnya. Jika itu yang terjadi, berarti kita
senang dengan kehidupan dunia. Kesenangan-kesenangan tersebut akan memberatkan
pada saat syakaratul maut. Ibarat seorang anak yang sedang asyik bermain di taman,
kemudian diajak pulang karena ayahnya sudah tak punya waktu lagi, apa yang akan
terjadi? Nah seperti itulah manusia yang sudah terjerumus dalam dunia, sama
sekali tidak merindukan pulang.
Jika kerinduan untuk pulang tidak
ada, berarti ada yang salah. Karena sebenarnya anatomi tubuh manusia dirancang
sedemikian rupa untuk merindukan kampung halamannya. Ketidakladziman itu
terjadi karena,
- hilangnya
kenikmatan beribadah. Misal imam solat membaca surat yang
panjang malah mengeluh, malah menyesal solat di mesjid, pada kesempatan
berikutnya ga berjamaah lagi (hadeuuh..). Ibadah selalu tergesa-gesa hanya
cukup dikerjakan kemudian selesai. Padahal yang namanya nikmat, sudah pasti
akan senang berlama-lama tidak ingin cepat selesai.
- hadirnya kenikmatan dalam senda
gurau. Sudah tau tadarus itu lebih baik daripada
ngobrol-ngobrol kosong, malah terus saja mengisi waktu dengan hal yang tidak
berguna. Ketika sudah begitu, berarti telah dibuatnya senang dalam kesibukan
dunia. Jasad boleh sibuk dengan dunia, tapi ruh sibuk dengan Dia pemilik dan
penggenggam dunia, begitu seharusnya.
- tidak
ridonya akan kepahitan dalam hidup, padahal
kepahitan-kepahitan dalam hidup akan semakin mendekatkan kita pada akhirat,
meski pada sisi yang lain kenikmatan hidup dapat juga dijadikan amalan untuk
kehidupan hakiki kelak. Namun dalam hal ini kepahitan-kepahitan yang dialami
hendaknya menyadarkan bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, sehingga
termotivasi memperbaiki diri mengumpulkan bekal untuk pulang.
Akhirnya, maksud dari tulisan ini
tiada lain untuk menegaskan bahwa, manusia sangat merindukan tempat asalnya yang
penuh kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan yakni akhirat. Akan tetapi manusia
tidak bisa pulang begitu saja tanpa dijemput oleh malaikat pencabut nyawa.
Sehingga kedatangan malakal maut sangat dinanti-nantikan oleh manusia. Lantas
apakah kita termasuk manusia yang takut mati? Sekali lagi kondisi seperti ini mengartikan
ada yang tidak wajar. Apa sebenarnya yang menyebabkan manusia tidak merasa
rindu terhadap akhirat? Insyaallah kita lanjutkan lagi pada sesi yang akan
datang.
Sumber: Diringkas dari ceramah Ustad Syatori Abdul
Rauf. Mesjid Pogung Dalangan, Sleman DIY.
Rabu, 12-12-2012 (19.30 WIB).