Kenapa
kamu belum lulus kuliah? Takdir!
Kenapa
kamu belum nikah? Takdir!
Kenapa
kamu miskin terus? Takdir!
Kenapa
kamu begini? Kenapa kamu begitu? Takdir!
Takdir
merupakan menjalani lika-liku kehidupan menuju keharibaan Allah Al-Qodir.
Perjalanan seorang hamba berbeda-beda ada yang berkelok-kelok, ada yang sangat
berliku, ada juga yang kelihatannya luru-lurus saja akan tetapi ketika dicermati
secara seksama ternyata naik-turun juga.
Apa
saja yang akan terjadi pada hidup dan diri ini telah tertulis di lauh mahfudz. Kejadian
besok lusa dan seterusnya sudah ditentukan olehNya. Muncullah anekdot, ngapain berbuat
baik? ngapain solat? ngapain jadi orang jujur? ngapain jadi dermawan? toh
takdirnya masuk neraka. Kejadian apapun itu merupakan ketentuan Allah, kita
hanya mengambil bagian dari takdir yang disebut dengan nasib.
Kesehatan
dianggap takdir baik, sedangkan sakit merupakan takdir buruk. Tanpa ada sakit,
sehat tidak mungkin dikatakan takdir baik, begitu juga tanpa ada miskin, kaya
tidak mungkin disebut takdir baik. Padahal sehat atau kaya (yang dianggap sebagai
takdir baik) belum tentu membawa kebaikan, bisa jadi kesehatan atau kekayaan
justru membawa pada keburukan. Setali tiga uang, sakit atau miskin (yang
dianggap takdir buruk) bisa jadi membawa pada kebaikan.
Dulu
ketika miskin rajin solat berjamaah ke mesjid, bergaul dengan warga di sekitar.
Ketika sudah kaya tidak pernah lagi masuk mesjid, keluar bergaul dengan warga
pun tidak. Dulu ketika sehat malam ahad malah mendatangi lembah nista, tapi
ketika sakit justru malah diam di rumah. Kaya atau sehat itu tidak penting yang
terpenting apapun kondisinya tetap membawa pada kebaikan. Adapun dengan kaya
bisa berinfak lebih banyak, titik pentingnya bukan terletak pada kekayaan tapi
pada infaknya. Sehingga setiap kejadian yang kita anggap baik belum tentu baik
di mata Allah, bahkan bisa jadi sebaliknya setiap kejadian yang kita anggap
buruk malah di dalamnya Allah menghendaki kebaikan. Pada prinsipnya Allah
menghendaki yang terbaik untuk hambanya.
Simak dengan
seksama gambar di bawah ini:
Takdir
itu ada yang bersifat duniawi dan ukhrowi. Keduanya ada yang baik dan ada juga
yang buruk. Lahir menjadi seorang yang cantik atau tampan merupakan takdir baik
duniawi begitu sebalikanya. Solat berjamaah di mesjid merupakan takdir baik
ukhrowi, pacaran merupakan takdir buruk ukhrowi. Apapun takdir tersebut
sebetulnya ditujukan untuk kebaikan akhirat. Belum pahamkan? Yu pelan-pelan simak
penjelesan selanjutnya.
Takdir
baik atau buruk keduanya ada yang belum terjadi dan ada yang sudah terjadi. Mari
kita kupas singkat satu persatu.
1.
Takdir baik yang belum terjadi. Penyikapannya diisi dengan Al-Kasbu, yakni berusaha untuk selalu berada dalam kebaikan.
Misalnya kita belum kaya, belum solat, belum bisa baca al quran berusaha terus
untuk mengarah kesana tanpa mengeluh.
2.
Takdir baik yang sudah terjadi. Disini disikapi dengan Assyukru, yakni meningkatkan kualitas diri lebih baik dari yang
belum mendapatkan takdir baik. Contohnya, yang sudah punya motor tanya deh ke
yang ga punya motor udah hafal quran berapa juz? Solat lima waktu berjamaah di
mesjid ga? Duhanya berapa rokaat? Tahajudnya tiap malam ga? Maka kita yang sudah
punya motor harus lebih baik dari teman yang ga punya motor. Begitu juga ketika yang ikhwan sudah terbiasa solat 5 waktu di mesjid, yang akhwat sudah terbiasa mengenakan hijab, infaknya rutin setiap hari, merupakan takdir baik yang sangat luar biasa. Sehingga dengan demikian harus menunjukkan hal yang lebih baik dari mereka yang belum terbiasa. Jangan tunjukkan keluh kesah, rajin kuliah, jujur dalam ujian, dagang, gigih dalam bekerja, senang menolong dan lain sebagainya. Jika sebaliknya absen saja nitip, masih suka membicarakan keburukan orang, masih menjalani pacaran, dan melakukan keburukan-keburukan lainnya, orang lain tidak mungkin tertarik melakukan kebiasaan baik. Mereka pasti menilai kita yang terbiasa dengan solat tepat 5 waktu saja perbuatannya tidak lebih baik dari mereka sehingga mereka enggan untuk mengikuti kebaikan. Hal ini bukanlah beban bagi kita yang sudah memperoleh takdir baik melainkan stimulan dalam berlomba-lomba dalam kebaikan.
3.
Takdir buruk yang belum terjadi. Disikapi dengan Al-Janbu,
yakni menghindari keburukan yang akan terjadi. Misal ketika datang ke tempat A
pasti saja kebawa maksiat, kalau nonton tv pasti bakal ada kemaksiatan entah
itu gosip, melihat reporter wanita dan semacamnya sehingga harus dihindari (tv
itu ada baiknya ko, yakni ketika tv tidak dihidupkan). Contoh yang lain, pernah
suatu ketika Umar Ibn Khattab ra. akan menuju suatu tempat kemudian memutar
arah tidak melewati suatu perkampungan yang dilanda endemik wabah penyakit. Kemudian
beliau ditanya oleh sahabatnya, kenapa anda menghindar dari takdir? Beliau pun
menjawab, saya memang menghindar dari takdir baik ke takdir yang lebih baik.
4.
Takdir buruk yang sudah terjadi. Sikapi dengan Al-Inabah,
yakni dengan segera taubat nasuha. Misalnya dimaki respon dengan evaluasi diri.
Suatu kali terjerumus dalam maksiat bergegas minta ampunan Allah dan tidak
mengulanginya lagi.
Akhirnya
sikap yang paling penting adalah menerima. Maksudnya bukan menerima takdir tanpa
usaha terus-menerus, melainkan apapun yang terjadi berasal dari Allah terima secara aktif melalui penyikapan yang
sesuai dengan takdir masing-masing seperti yang telah dijelaskan di atas.
Diringkas dari ceramah Ust. Syathori
Abdul Rauf. Mesjid Pogung Dalangan. Sleman DIY. Rabu, 9 Januari 2013. (19.30 –
20.30 WIB).
Tulisan Sebelumnya: "
Rindu Bersamamu Lagi"
Tulisan Berikutnya: "
Banyak Orang Senang Ditipu dan Senang Bertemu Hantu"