Perjalanan Menuju Mahameru

 


Tinggal satu langkah lagi untuk memperoleh Nomor Tanda Anggota (NTA) Jantera (Perhimpunan Pecinta Alam Geografi) melepas status pada struktural organisasi dari Anggota Muda menuju Anggota Utama. Setelah proses panjang kaderisasi hampir satu tahun penuh telah banyak ragam tahapan pendidikan dan latihan dilalui, muncul instruksi untuk melaksanakan tahapan akhir yaitu pengembaraan ke Gunung Slamet. Instruksi tersebut pupus sekejap ketika ada tawaran dari seorang kawan untuk mendaki ke Gunung Semeru dan Bromo. Meski demikian tawaran itu tidak diambil begitu saja tanpa pertimbangan-pertimbangan tertentu. Hingga pada akhirnya ditentukanlah tanggal 22 di Penghujung 2009 sebagai waktu pemberangkatan menuju Puncak tertinggi di Jawa (Semeru) dan Bromo sebagai bonus wisata.

Tidak lebih dari dua minggu persiapan dilakukan untuk pemuncakan. Dipastikan satu tim terdiri dari 9 orang personil terdiri dari 3 orang Anggota Utama Jantera sebagai instruktur (Teuku Ahmad Hidayat, Asep Radit, dan Nova Nur Puadah), 4 orang Anggota Muda Jantera (Riki Ridwana, Firman, Ade Firman, dan Pupun Puadah), dan2 orang lagi kawan dari Tasikmalaya (Kemal dan Agi) mereka adalah kaka beradik. Kemal lah yang mengajak saya & akhirnya bersama teman-teman Jantera mendaki ke Gunung Semeru dan Bromo.

Berbeda dari tahapan pendidikan dan latihan sebelumnya, prosedur kerja kali ini tidak seperti yang dilakukan sebagai calon geograf atau bahkan sebagai calon pendidik Geografi yang membawa setumpuk instrumen sebagai kerangka dalam pencarian data baik fisik maupun sosial, program kali ini hanya difokuskan kepada pemuncakan saja. Itulah arahan terakhir yang kami terima sebagai Anggota Muda dari Muslim Arif sebagai Ketua Bidang Penelitian Jantera. Hal ini di dasari pada pertimbangan bahwa medan yang akan dilalui cukup berat ditambah lagi cuaca saat itu diprediksikan sedang buruk. Maka dibutuhkan konsentrasi tinggi tanpa ditambah dengan tugas lain yang sekiranya dapat menambah beban perjalanan.

Semenjak dicetuskan waktu pendakian, perencanaan dan manajemen perjalanan pun segera dirumuskan bersama oleh tim. Sehingga terhitunglah 3 kali kami berkumpul setelahnya dilanjutkan dengan pelaksanaan persiapan pribadi dan tim mulai dari fisik, mental dan logistik. Dari frekuensi berkumpul terkontrol kesiapan personil bahkan kebutuhan tim sehingga tidak ada lagi kekurangan yang bersifat fundamental yang dapat mengganggu kelancaran pendakian.

Selasa tanggal 22 Desember 2009 tim bergegas untuk berangkat. Pukul 17.00 tim sudah berkumpul dan packing di kostan No.34 Ledeng. Adzan magrib berkumandang kami langsung menuju “puing-puing” (sekre Jantera yang di demolish sekitar 5 bulan yang lalu) setelah ibadah solat magrib ditunaikan. Disana kang Bow menyampaikan wejangan untuk keselamatan kami bersama, “kabari kami yang disini sudah sampai mana perjalanan kalian” itulah salah satu penggalan kalimat yang disampaikan oleh kang Bow. Waktu telah menunjukkan pukul 18.30 WIB tim menuju stasiun Kiaracondong menggunakan angkot Ledeng-Margahayu.

Seakan ditinggalkan oleh keluarga, kawan-kawan yang tidak ikut pendakian, mengantarkan kami sampai angkot yang kami kendarai melaju sambil melambaikan tangan dan mengucapkan “selamat jalan”, “hati-hati”, mungkin di antara kami yang rindu dengan keluarga seketika itu juga terobati melihat perlakuan yang ditunjukan oleh mereka.

Perjalanan menuju stasiun Kiaracondong dibumbui dengan sedikit ketegangan mengingat jadwal pemberangkatan kereta yang tinggal sebentar lagi. Perasaan itu kami rasakan bersama ditambah trayek angkot yang cukup panjang dan jalanan Kota Bandung yang sedikit macet. Hingga bersykur kami sampai tanpa ketinggalan kereta api Kahuripan tujuan Kediri yang berangkat pukul 20.20 WIB. Kereta api ekonomi ekspres dengan harga tiket Rp.38.000 ini ternyata sarat penumpang dan bahkan diantara kami ada yang berdiri tidak sebentar hingga akhirnya mendapatkan tempat duduk.

Menikmati perjalanan panjang yang ramai oleh pedagang asongan dan suasana sejuknya malam membuat kami tidak merasakan kebosanan yang berarti. Tertidur meski sering terbangun dan tidur kembali secara berulang-ulang mengantarkan kami sampai di stasiun Kertosono Jawa Timur sekitar pukul 11.30 waktu setempat. Sebelum berpindah kereta dengan tujuan Malang, saya, Teuku Ahmad, a Kemal, dan Agi, mampir sejenak ke warung pinggir rel untuk membeli nasi pecel yang setumpuk dengan kerupuk dan satu tusuk sate seharga Rp.3.500 saja. Tidak menyesal, ternyata panganan yang kami beli sangat enak dan kami berencana untuk membelinya kembali ketika pulang nanti.

Bersama dengan Kereta dari Kertosono menuju Malang kami melanjutkan perjalanan Sekitar pukul 12.00. Sengaja tiket tidak dibeli, hanya dengan menunjukkan tiket kereta sebelumnya dan membayarkan uang Rp.6000 kepada petugas, kami bisa duduk di tempat kosong mana saja dalam kereta. Teknik itu kami dapatkan dari seorang mahasiswa hukum UNIBRAW kenalan di kereta yang bernama Adrenal. Kiranya teknik itu dirasa cukup praktis dan sedikit menambah jatah jajan atau untuk keperluan lain.

Sesampainya di Malang sekitar pukul 16.00, kami menunggu jemputan seorang kenalan Kemal yang bernama Fery. Cukup lama menunggu hingga pukul 17.30 Fery datang dengan membawakan mobil sejenis angkutan umum elf/ colt disertai sambutan rintikan air hujan yang membasahi tanah Malang. Sebelum sampai di Pasar Tumpang, kami berbelanja kebutuhan yang belum kami beli untuk di Gunung nanti. Sambil menunggu teman yang lain berbelanja saya bersama agi menunaikan solat ashar di jama takhyir dengan dzuhur. Sekitar pukul 18.40 kami sampai di Pasar Tumpang dan bertemu dengan Pak Arif yang akan mengantarkan kami menuju pos pendakian yaitu Ranu Pani dengan menggunakan Jeep. Sambutan dari pak Arif cukup ramah, meski perawakannya tinggi besar dan tegap, pak Arif ini cukup ramah & santai juga gesit melayani kebutuhan kami yang mungkin seiring dengna jam terbang beliau melayani banyak pendaki. Hal itu membuat kami tidak canggung dan merasa puas.

Sesaat setelah carrier dan perlengkapan lainnya dikondisikan diatas jeep, kami menunaikan ibadah salat magrib di mesjid yang berjarak sekitar 20 meter dari garasi tempat Jeep yang akan kita tumpangi diparkirkan. Perjalanan menggunakan Jeep membuat kami bangga. Jika sebelumnya menggunakan Jeep di alam bebas hanya dilihat lewat televisi yang ditunjukkan oleh pemeran salah satu iklan produk rokok, kini dapat kami rasakan langsung. Itu lah celotehan yang dilontarkan teman-teman ketika Jeep yang ditumpangi melaju kencang. Trek yang dilalui cukup panjang, berkelok, dan menanjak curam. Dari jalanan aspal, paping blok, hingga tanah yang digenangi cilencang dilalui dengan kecepatan tinggi. Badan jalan sangat kecil, hanya bisa dilalui dengan lancar oleh satu jeep saja. Sehingga ketika berpapasan dengan mobil lain terpaksa harus mengatur hati-hati kalau tidak, bisa terpersok ke dalam jurang.

Tidak ada yang dapat kami lihat secara jelas, yang nampak hanya tebing sebelah kanan dan jurang sebelah kiri serta terus bergantian di sepanjang jalan yang ditutupi oleh tumbuhan-tumbuhan entah jenis apa. Kurang dari 2 jam kami sampai di Pos pendakian Ranu Pani sekitar pukul 20.30 setelah sebelumnya tidak jauh dari Pasar Tumpang kami melapor dan memberikan retribusi sebesar Rp.7.500/orang di tempat yang bisa disebut Posko Pendakian awal. Dari posko tersebut kami dibekali 1 buah amplop berwarna coklat yang berisikan surat-surat perijinan dan tata tertib pendakian.

Sesampainya di Ranu Pani tanggal 23 Desember 2009, carrier dan logistik lainnya kami simpan di rumah yang bersebelahan dengan posko. Di antara posko dan rumah tersebut terdapat dinding vandalisme seolah menantikan coretan-coretan tangan kami. Foto-foto di sana mengawali jepretan kamera digital (camdi) yang dibawa. Setelah puas berfoto-foto, makan nasi sayur lodeh dan telor panas dapat kami nikmati di warung ibu Erna yang letaknya persis di depan rumah dimana kami akan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke shelter berikutnya. Rumah-rumah yang ada di Ranu Pani lumayan banyak “ada puluhan kepala keluarga di Ranu Pani” itu yang diucapkan oleh suami bu Erna ketika kami ngbrol-ngbrol sambil menunggu telor ceplok matang. Mereka bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian lagi berdagang antara lain cindera mata yang banyak dibeli oleh para pendaki.

Waktu telah menunjukkan pukul 22.00, kami segera bergegas untuk istirahat setelah sebelumnya memanfaatkan fasilitas kamar mandi yang mungkin akan sulit ditemui di shelter berikutnya dan briefing sebentar untuk merencanakan teknis keberangkatan esok hari. Malam itu menjadi malam yang sangat singkat, mungkin karena lelahnya perjalanan kereta hingga 19 jam belum ditambah dengan kendaraan lokal lainnya, membuat kami tertidur pulas. Tertidur dalam sejuknya udara malam di Ranu Pani menjadikan pagi hari tanggal 24 Desember pukul 05.00 badan terasa pulih kembali. Seperti pada pendakian sebelumnya Ahmad memasak nasi dan menggoreng nuget hingga setengah kering.

Sementara Pupun dan Radit mencari sayuran yang dijual di sekitar penginapan. Yang lainnya berkemas dan mempersiapkan diri untk keberangkatan. Sekitar Pukul 7 pagi kami semua menyantap sarapan pagi yang telah disiapkan oleh Ahmad. Setelah itu kami semua secara bergotong royong membersihkan ruangan yang telah kami tempati semalam. Tidak pergi begitu saja untuk menuju ke shelter berikutnya, kami Memberikan uang seadanya, kurang lebih Rp.30.000 kepada pemilik rumah sebagai ucapan terima kasih telah menyediakan tempat yang nyaman untuk memulihkan kembali tenaga kami sebelum memulai perjalanan menuju puncak impian. Kemudian setelah streching pagi pukul 08.00 kami berangkat menuju Ranu Kumbolo.

Dengan semangat dan tenaga penuh, gerak langkah kaki berjalan cepat. Belum ditemui trek yang berat sehingga fisik ini masih terasa kuat. Bahkan 2 bersaudara Kemal dan Agi sesekali berjalan sambil bernyanyi dengan instrumen khas dari mulut mereka dan semakin menjadi ketika perjalanan berhenti untuk rehat sejenak. Tak ayal yang lainnya pun turut mengikuti apa yang dilakukan si 2 bersaudara ceria sehingga seperti dagelan sunda saja. Sangat lucu dan kompak kakak beradik ini menyemarakkan suasana pendakian apalagi instrumen yang mereka nyanyikan adalah lagu sunda yang berjudul “talak tilu”.

Sungguh perjalanan yang asik dan berbeda dari sebelum-sebelumnya. Terhitung 2 kali kami rehat sekitar 1 jam perjalanan telah sampai di Watu Rejeng. Meskipun tidak ada tanda penjelas saya berasumsi bahwa Watu Rejeng merupakan batas akhir jalan setapak berpapingblok karena berdasar pada arah penunjuk jalan sebelumnya yang menunjukkan 500 meter lagi adalah Watu Rejeng maka saya perkirakan di situ lah tempatnya. Berikutnya trek yang dilalui adalah jalan setapak tanah berwarna merah kecoklatan disertai ranting-ranting yang melingtang yang cukup menghambat perjalanan para pendaki.

3 jam lebih sudah kami berjalanan, “Allahu Akbar” itu lah kalimat yang terus dilontarkan tatkala dari kejauhan arah barat daya terlihat dibawah sana hamparan luas genangan air yang dikelilingi oleh perbukitan yang dinamakan Ranu Kumbolo serupa dengan danau atau di daerah sunda disebut “situ”. Sangat menakjubkan, indah sekali dipandang mata. Saat itu pula kesejukan dan panorama Ranu Kumbolo membuat lelah kami hilang seketika.

Di atas sini dengan pemandangan Ranu Kumbolo kami sejenak beristirahat dan berfoto-foto. Setelah cukup puas kami turun dari bukit menuju Ranu Kumbolo. Segar sekali air Ranu ini dan sungguh nikmat berwudlu dan salat dzuhur membelakangi danau yang sebagiannya diselimuti oleh kabut tipis putih. Tak lama kami duduk menghadap Ranu Kumbolo, hujan pun turun.

Kami segera berteduh di pondokan yang jaraknya sekitar 15 meter dari bibir sebelah barat danau. Terlihat waktu menunjukkan pukul 13.20 kami langsung menuju shelter berikutnya yaitu Kalimati. Minum kopi, teh, masak dan makan siang menghadap Ranu Kumbolo sudah, kami langsung menggerakan kaki dengan menggendong carier yang masih berat dengan logistik yang hanya sedikit saja berkurang karena baru dikonsumsi satu kali itu saja. Dari Ranu Kumbolo ini kami langsung dihadapkan dengan “tanjakan cinta”.
Trek ini memiliki mitos tersendiri. Mitosnya adalah barang siapa yang mampu berjalan secara terus menerus tanpa berhenti dan tanpa menoleh kebelakang hingga sampai di titik akhir tanjakan dengan membayangkan lawan jenis yang di sukai maka kelak akan mendapatkan cinta dari lawan jenis yang dibayangkan tersebut. Memang menarik, tidak terlepasdari mitos tersebut menjalani tanjakan kurang lebih sepanjang 100 meter tersebut kami menjadi bersemangat seakan tidak lelah sedikitpun. Kadat Ahmad adalah salah satu yang paling bersemangat untuk memecahkan mitos “tanjakan cinta”. Hal tersebut dibuktikan dengan sampai paling pertama. Saya menyuruh Pupun untuk memanggilnya “Ahmad, ahmad, ahmad” berulang kali Pupun memanggil tapi tak sedikitpun membuat Ahmad bergeming untuk menoleh kebelekang, terus saja berjalan tanpa menghiraukan apapun. Mungkin hal itu sedikitnya menunjukkan keseriusan akan mitos tersebut karena biasanya di perjalanan sebelum-sebelumnya tidak sefokus itu.Begitu juga dengan kawan-kawan yang lain tidak jauh berbeda dengan Ahmad meski sebagian ada yang biasa-biasa saja acuh tak acuh dengan mitos yang ada.
Di tengah perjalanan menuju Kalimati, kami di suguhi dengan hamparan lahan luas sekitar 100 ha, dikelilingi oleh perbukitan yang sangat indah. Lahan tersebutditumbuhi dengan beranekaragam vegetasi diselingi bunga bunga yang berwarna-warni. Tempat ini beranama Oro-oro Ombo yang dulunya berupa danau dan rawa. Menembus melewati Oro-oro Ombo yang serupa dengan ciri-ciri bioma savana ke arah Tenggara, kami memasuki stepa dengan tumbuhan penutup lahan beraneka rumput dan beberapa pohon cemara yang cukup besar. Sekitar 2 jam lebih perjalanan dengan sesekali istirahat untuk menghela nafas dan minum makan makanan kecil secukupnya, kami melewati papan yang bertuliskan Jambangan. Papan tersebut membuat kami semakin bersemangat berjalanan karena kami tahu Kalimati semakin dekat.

Sekitar 1 jam dari sana, akhirnya kami sampai di Kalimati. Tempatnya cukup luas, menurut data sekunder yang diperoleh luasnya adalah 20 ha dengan tanahnya hitam bertekstur pasir yang berasal dari erupsi gunung Semeru yang dipinggir-pinggirnya dikelilingi hutan alam dan bukit-bukit rendah. Di Kalimati tidak tersedia air, makanya kami sudah membawa stock air dari Ranu Kumbolo tidak kurang dari 15 liter. Kalaupun air yang kami bawa nantinya kurang, terpaksa harus berjalan selama 1 jam bulak-balik ke Sumber Manik-Kalimati yang menurut informasi di Sumber Manik tersedia air bersih. Sumber air bersih ini biasa digunakan oleh umat Hindu mengambil tirta (air suci) pada pendakian ke Semeru dan kini pun air tersebut menjadi sumber penyambung hidup bagi pendaki yang kehabisan stock air.

Di shelter Kalimati kami tiba sekitar pukul 17.00 langsung membuat jemuran memanfaatkan tali webing di halaman pondokan yang tersedia dipinggir yang masih tertutup oleh atap, untuk menjemur pakaian dan raincoat kami yang basah karena di tengah perjalanan tadi hujan turun sangat deras. Kami sangat kedinginan hujan deras meski sebentar telah membuat talapak tangan terutama kaki kami mengkerut. Kami pun bergegas berganti pakaian kering menjaga supaya tidak masuk angin. Pondokan yang tersedia di Kalimati ini sangat membantu, pondokan ini terdiri dari 4 ruangan kosong, masing-masing berukuran 6 m2 cukup nyaman untuk menginap sehingga tidak perlu mendirikan tenda. Jika cuacanya cerah, dari sini Puncak Mahameru terlihat jelas dan dekat, membuat hati para pendakai ingin segera menginjakan kaki di atasnya. Namun sayang pada saat itu hari sudah sore apalagi hujan masih saja mengguyur Kalimati hingga larut malam sehingga sedikitun puncak mahameru tak nampak seolah menjadi sosok misterius yang tidak sembarangan dapat dilihat dengan mudah. Meski demikian, hujan yang turun menjadi berkah tersendiri. Karenanya masa pasir menjadi terpadatkan tidak akan menggannggu pernafasan dan penglihatan ketika dini hari nanti melakukan pemuncakan.

Tiba saatnya untuk santap malam bersama dengan tim lain yang berasal dari Jakarta sebanyak 4 orang personil. Kami menyiapkan nasi dan nuget sementara tim Jakarta menyediakan telor goreng dan bala-bala. Setelah santap malam kami memutuskan untuk melakukan pemuncakan bersama karena pada saat itu tidak ada tim lain selain kami dan tim Jakarta tersebut. Waktu menunjukkan pukul 21.00 kami siap untuk tidur. Tidak berbeda seperti di Ranu Pani, meski suhunya lebih rendah justru membuat istirahat semakin lelap bahkan membuat saya bermimpi namun entah apa yang dimimpikan sekarang sudah lupa karena tidak jelas juga. Pada pukul 01.00 tanggal 25 Desember kami semua telah bangun dan menyantap makanan berenergi tinggi yang telah disiapkan oleh Ahmad, Pupun, Nova, yang bangun lebih awal.

Tim siap untuk summit. Berdoa secara berjamaah demi keselamatan mengawali sebelum jejak langkah mulai di pijak menuju puncak para Dewa. Pukul 01.20 kami beranjak dari Kalimati dengan perlengkapan lengkap untuk pendakian di malam hari. Masing-masing personil mengenakan raincoat dan membawa alat penerangan baik itu headlamp atau senter. 2 orang personil dibebani dengan daypack yang berisi makanan berkalori tinggi, air, webing, flsysheet dan perlengakapan P3K. Baru dari sini kami menemui trek yang menantang berkelok-kelok setelah sebelumnya hanya melewati trek landai hingga datar namun disini didominasi oleh trek curam. Kiri kanan tak sedikit dibatasi oleh jurang yang cukup dalam dengan rantai dan tali rafia seadanya sebagai tali penanda trek ataupun sebagai pembatas jalan. Sekitar 1 jam perjalanan kami sampai di Arcopodo. Tidak jauh dari arcopodo kurang dari setengah jam sampai juga di Cemoro Tunggal yaitu perbatasan antara medan bervegtasi dengan medan pasir tanpa vegetasi sedikit pun.

Namun pada saat itu cemara yang tinggal satu-satunya sudah tumbang tergeletak diatas pasir hitam seolah tak sanggup lagi berdiri tegak sendiri tanpa ada yang menemani. Dari sini puncak terlihat sangat jelas bahkan penglihatan tersebut membuat perkiraan kami salah besar. Dari sini jarak tempuh sepertinya sangat dekat seakan hanya 50 meter jarak vertikal, namun kenyataannya jarak tersebut jauh lebih lama ditempuh dibandingkan dengan Kalimati-Arcopodo.

Dari sini mental pendaki sangat diuji. Beberapa di antarakami termasuk saya mulai frustasi ketika puncak tidak sampai juga. Sang fajar berwarna merah telah menyingsing di sebelah kiri kami, namun sepertinya lereng Semeru terlihat semakin memanjang saja ke atas. Jika saja tidak bergerak dengan gesit, dua kali kaki melangkah satu langkah kaki ini mundur dengan sendirinya oleh merosotnya pasir yang dipijak. Hal itu membuat mental ini semakin jatuh. Sanggup kah untuk mencapai puncak? Mampukah kami menginjakan kaki d tanah tertinggi di Jawa? Pertanyaan-pertanyaan itu yang terus muncul dalam pikiran. Ketika masih di lereng yang curam, ada kejadian kecil yang kalau tidak dilanjutkan dengan baik mungkin akan bertaruh nyawa. Saat itu saya sebagai leader sempat mengambil jalur yang salah. Harusnya ke kanan, saya tertarik untuk melangkah ke arah kiri karena melihat pasir di sebelah kiri terlihat padat. Memperkirakan pasir padat akan lebih mempermudah pendakian justru malah sebaliknya licin dan memaksa saya merangkak perlahan. Posisi saat itu ibarat panjat dinding dengan sedikit point.

Hati ini dagdigdug tidak karaun ketika dikiri kanan pegangan yang ada rapuh dan mudah berguguran. Melihat kebawah sudah sangat tinggi, sempat terbayangkan saat itu kalau pijakan kaki tidak kuat terperosot jatuh jauh berguling-guling, ngeri dan naas pendakian saya mungkin akan berakhir sampai disitu. Namun alhamdulilah tangan saya bisa menggapai uluran tangan Radit, sehingga kembali lagi ke jalur yang tepat. Di jalur yang tepat badan condong ke depan dengan posisi sangat miring mungkin saja jika yang memliki pobia ketinggian akan sangat ketakutan menggelinding kembali kebawah, karena lereng-lereng terjal berbatu dan pasir itu memiliki kemiringan antara 60-80 derajat. Setelah kembali ke jalur yang seharusnya saya dapat berbarengan kembali memimpin pendakian bersama Firman yang tadi sempat mendahului sendirian. “Puncak sudah dekat,ayoo semangaat!!!” itu lah teriakan-teriakan yang saya dan firman tujukan kepada teman-teman yang jaraknya terpagut cukup jauh dengan kami berdua.

“Allahu Akbar...Allahu Akbar...Allahu Akbar...” tiga kali teriakan takbir saya dan firman gemakan ketika sampai menginjakkan kaki di Mahameru. Terbayar semua lelah, lenyap semua keluh kesah berganti kebahagiaan dan kekaguman atas semua ciptaan Allah yang dari puncak prestisius itu nampak sangat indah. Selain gemuruh dan kepulan asap yang dilontarkan dari kawah Jonggring Seloko yang masih aktif, sebelah barat terdapat kota Malang, di sebelah utara tampak Gunung Kepolo dan pegunungan Tengger, sebelah Timur terlihat Gunung Argopuro, dan garis pantai selatan dapat terlihat dari sisi sebelah Selatan puncak Mahameru. Luar biasa dan sungguh tiada duanya. Tidak lama kemudian Agi, Ade, Ahmad, Radit, Pupun, Nova, dan Kemal sampai pula menikmati panorama di ketinggian 3676 mdpl.

Perjalanan Menuju Mahameru 4.5 5 Riki Ridwana Tinggal satu langkah lagi untuk memperoleh Nomor Tanda Anggota (NTA) Jantera (Perhimpunan Pecinta Alam Geografi ) melepas status pada s...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.