Mungkin tidak seperti saat ini jadinya, jika tidak memiliki seorang ibu yang luar biasa. Kebesaran hatinya mengajari bagaimana memaknai kehidupan yang terkadang ia sampaikan biasa-biasa saja namun kaya nilai. Retorika tidak menjadi penting rasanya karena bagaimana ia berkata itu lah seni yang mampu untuk mudah dicerna dan mengena sehingga aku mau menurutinya. Keuletan ia tunjukkan pada keseharian dalam melakukan apapun untuk raihan sebuah tujuan. Kesungguhan terpatri dalam diri sesosok wanita satu-satunya yang tak tergantikan, dari itu memang terbukti kesungguhannya menyelesaikan sesulit masalah seberat beban yang menguji.
Ibu adalah bagian cerita dari dulu hingga suatu saat nanti. Ia bukan wanita jenius yang spektakuler dikenal dunia karena karya monumental yang dihasilkannya. Namun ibu ku karunia langka yang penuh kesabaran dalam mengasihi dan tulus dalam memberi.
Raut kening kerut tak ia tampakkan sebagai kekesalan akibat kekeliruan yang sering aku perbuat. Akan tetapi pengertian selalu saja menyertai dengan senyuman untuk meluruskan tanpa emosi. Duka lara mnyikapi berbagai kenestapaan tak berlebihan tatkala dirundung kehilangan. Cerminan itu hanya sebentar ia lampiaskan, berikutnya adalah seperti sedia kala. Penampilannya selalu menyejukan dan memotivasi diri ini untuk lebih giat menjalani hari.
Aku sampai dengan sekarang tidak terlepas dari seorang wanita solehah yang konsisten menjaga intensitas komunikasi dengan Tuhan. Dalam setiap sore harinya ia hadir dalam majelis ta’lim, pada setiap minggunya berpuasa seperti rasul, ketika satu pertiga malam terakhir ia bersujud meneteskan air mata, dan setiap waktunya ibu senantiasa berdoa.
Tanpa ibu tak terbayang bagaimana jadinya.
Tulisan Sebelumnya: "Filsafat Ilmu"
Tulisan Berikutnya: "Sebentar di Pangandaran"
subhanalloh..
BalasHapusjd inget ibu kiwW..hheu
haturnhun...
BalasHapus