Mengenang masa awal saya masuk dunia perguruan tinggi, seorang senior yang menjadi presiden mahasiswa di kampus secara menggigit bertanya kepada kami, “Siapakah yang saya hadapi saat ini? Mahasiswa semester awal ataukah siswa SLTA kelas empat?”. Pertanyaan tersebut tidak beranjak dari ketidaktahuan melainkan dari kesadaran ontologis bahwa peralihan status dari “siswa” menjadi “mahasiswa” mengundang sejumlah konsekuensi yang tidak sederhana dan kerapkali gagal disadari oleh banyak mahasiswa. Sukses tidaknya perjalanan “kemahasiswaan” seorang mahasiswa sangat ditentukan kesadaran akan pergeseran status tersebut.
Dunia perguruan tinggi sungguh berbeda dengan dunia sekolah menengah (atas dan pertama). Dunia sekolah menengah adalah periode yang dipenuhi suka cita, egoisme, kegundahan khas remaja, dan cita-cita hidup yang masih didominasi oleh ukuran-ukuran material dan pragmatis. Dunia perguruan tinggi berbeda, seolah membukakan segalanya sambil menjelaskan “it’s the real life”. Penuh warna dan pertarungan pembentukan jatidiri yang diukur dengan spirit intelektualisme, karya, dan akhirnya pengakuan. Hidup tidaklah sesederhana yang dipikirkan sebelumnya, namun tetap menyimpan misteri potensi keindahan dan sukacita yang lebih luas, berwarna, dan mendalam. Semuanya bermula dari kesadaran historis pembentukkan dan perjalanan bangsa serta posisi strategi mahasiswa di dalamnya.
Sebagai kelompok minoritas terdidik, mahasiswa memiliki banyak kekuatan di dalam dirinya antara lain kekuatan moral (moral force), kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (poer of reason). Dengan kekuatan-kekuatan itu mahasiswa, sebagaimana dikemukakan oleh Jack Newfield, bisa disebut sebagai a prophetic minority. Jack Newfield lebih lanjut menjelaskan:
Mahasiswa adalah kelompok minoritas-para aktivis hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh kedepan dan memikirkan apa yang tidak atau belum dipikirkan oleh masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, tampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat. Dan mereka menginginkan perubahan. Tidak sekedar perubahan-perubahan marginal, tetapi perubahan fundamental. Mereka memikirkan suatu proses transformasi.
Sebagai “kawah candradimuka” pembentukan para aktivis, organisasi kemahasiswaan memang tidak pernah tunggal dan terpolarisasi berdasarkan keyakinan ideologisnya masing-masing. Tiap-tiap kelompok memiliki sikap, pandangan, pemahaman, dan penilaian yang berbeda-beda tentang sejumlah permasalahan. Mereka juga berbeda dalam cita-cita tentang bentuk masyarakat ideal. Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa organisasi-organisasi kemahasiswaan berperan besar khususnya dalam penyiapan dan penyediaan kader-kader penerus bangsa, apapun keyakinan ideologis dan cita-cita idealnya.
Merekalah yang memproduksi –meminjam istilah sejarawan Arnold Toynbee –creative minority yang berperan sebagai agent of change dan agent of social control bagi masyarakat dan bangsanya. Berdasarkan background kesejarahan tersebut, sejak awal seorang mahasiswa sepatutnya menanamkan diri untuk menjadi sosok “mahasiswa sejati”.
sumber: Majalah Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Tulisan Sebelumnya: "Kilas Pandang Yayasan"
Tulisan Berikutnya: "Mengisi Waktu Luang"
Tulisan Sebelumnya: "Kilas Pandang Yayasan"
Tulisan Berikutnya: "Mengisi Waktu Luang"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar