Sudah Taat Ko Ga Merasakan Nikmat?

 


“Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh, bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah (Muhammad), “Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (An-Nuur: 53)

Ayat di atas menjelaskan untuk tidak bersumpah, yang terpenting adalah melakukan ketaatan yang baik. Sering kali kita jadi konseptor ulung, merencanakan untuk tidak mengulangi kemaksiatan, merencanakan setiap hari tahajud, merencanakan infak rutin setiap pagi, membiasakan tilawah selepas magrib, membiasakan puasa sunah senin kamis dan ayyamul bidh, serta rencana-rencana lain yang hanya ada dalam ranah konsepsi, kenyataan malah berkata sebaliknya. Allah Mahateliti terhadap apa saja yang kita kerjakan, tahu siapa yang munafik dan siapa yang benar-benar beriman.

Iman yang tidak tumbuh akan membuat kebaikan terasa pahit dan menjadi beban yang menindih kehidupan.

Solat berjamaah di mesjid dianggap mengganggu rutinitas pekerjaan, baru saja imam membaca surat yang agak panjang merasa kelamaan menghabiskan waktu, berinfak dirasakan mengurangi pendapatan, apakah ini yang dinamakan beriman?

Iman itu seperti pohon yang harus ditanam, disiram dan dipupuk. Iman ditanam dengan membenarkan dalam hati (tasdiq), disiram oleh lisan (iqrar), dipupuk dengan amal (toatum ma’rufah/ ketaatan yang baik) senada dengan An-Nuur ayat 53 di atas. Amal kebaikan apapun tanpa adanya iman seperti menebar pupuk tanpa adanya pohon yang ditanam.

Sebaliknya iman yang ditanam, disiram, dan dipupuk dengan amal toatum ma’rufah akan tumbuh seperti pohon rindang yang dipenuhi tujuh puluhan cabang kebaikan.

Apa itu Toatum Ma’rufah?

Pertama ada kata "taat", yakni segala yang pantas dipersembahkan untuk Allah. Kalau nonton bola apakah pantas dipersembahkan untuk Allah? (jawab jujur yaa....). Hal-hal seperti itulah yang tidak pantas dijadikan pupuk iman. Kedua adalah "ma’rufah", secara istilah artinya “yang baik”, namun secara etimologi ma’rufah mengandung dua pengertian:

1. "Yang dikenal” atau “sesuai tuntunan”. Maksudnya ketaatan yang kita kerjakan harus sesuai dengan tuntunan. Mendirikan solat dzuhur itu taat tapi kalau dikerjakan jam 11 tidak sesuai dengan tuntunan. Mengerjakan puasa romadhon itu taat tapi jika dikerjakan dari terbit fajar sampai jam 12 malam bukan taat namanya karena tidak ada tuntunannya.

2. "Yang dikenali” atau “disukai hati nurani”. Taat berarti menunaikan amal kebaikan dengan perasaan suka dan senang. Sehingga disini ketika kita belum menyenangi ketaatan berupa solat berjamaah, tilawah, infak, dan semacamnya berarti terdapat penyakit yang harus diobati. Karena sakali lagi ketaatan itu disertai dengan suka dan senang dalam mengerjakannya.

Bukti senang amal ditunaikan hanya antara kita dan Allah mengantarkan hati kita melabuh bening dalam suasana hening.

Suasana bening adalah suasana jiwa yang membuat siapapun bisa melihat segala sesuatu sampai ke dasarnya (seperti air danau yang bening dapat terlihat sampai ke dasarnya), inilah yang imannya tumbuh. Buktikan saja ketika kita dihina orang, jika iman itu tumbuh, dengan sendirinya sadar bahwa orang yang menghina adalah orang yang paling berjasa, karena dengan penghinaannya menjadikan kita sabar, bisa memaafkan, dan melatih untuk ikhlas.

Bukti berikutnya adalah mati, menyenangkan atau tidak? Tentulah menyenangkan, siapa yang tidak mau bertemu dengan Rob nya. Kalau mati menjadi hal menakutkan apakah benar kita termasuk orang beriman?

Bukti yang terakhir untuk mengetahui iman kita tumbuh atau tidak adalah dengan uang. Jika masih menganggap uang sebagai sumber kesenangan dan kebahagian berarti belum bisa melihat sampai ke dasarnya. Kapankah kita berhenti untuk menjadikan uang sebagai ukuran kesenangan dan kebahagiaan? Karena nikmat sebenarnya bukan pada saat menerima tapi saat memberi (Mana yang berpahala ketika menerima atau memberi?). Bahagia yang sebenarnya memberikan yang kita butuhkan kepada orang yang lebih membutuhkan. Kesenangan yang sebenarnya memberikan yang kita sukai kepada orang yang tidak kita sukai (Besar mana pahalanya memberi pada orang yang kita sukai atau yang tidak kita sukai?). Dari semua itu masihkah menjadikan uang sebagai ukuran kebahagiaan? Itulah kualitas iman.

Ibn Mubarok pernah berkata, “Tiada keadaan yang lebih ku nikmati dalam hidup ini, melebihi dinginnya malam di kala tahajud dan panasnya siang di saat puasa”.

Suasana Hening adalah tiada yang lain di hati selain Allah. Keheningan itu seperti di puncak-puncak gunung tertinggi, sehingga ketika pohon iman semakin tinggi menyentuh langit itulah puncak iman, yakni ketika taat menunaikan segala amal kebaikan sesuai tuntunan dengan penuh rasa suka dan senang. Amal kebaikan yang masih dirasa pahit tiada lain adalah obat yang lambat-laun akan menyembuhkan penyakit dalam diri. Belum nikmat merasakan solat berjamaah, tilawah, puasa sunah, infak, dan semacamnya adalah proses pengobatan yang harus terus diupayakan. Seperti orang yang sedang sakit jangan sampai dibiarkan, jangan sampai tidak merasakan kenikmatan dalam taat lalu kemudian malah melakukan maksiat. Teruslah istiqomah mengamalkan kebaikan-kebaikan. Insya allah ketika penyakit itu tersembuhkan nikmat akan terasa dalam ketaatan.

Sumber:
Diringkas dari ceramah Ustadz Satori Abdul Rauf. (19.30 WIB, Rabu 29 Mei 2013). Mesjid Pogung Dalangan: Sleman DIY.

Tulisan Sebelumnya: "Obat Kuat Merek Twitter"
Tulisan Berikutnya: "Bersyukur Sebelum Terlambat

Sudah Taat Ko Ga Merasakan Nikmat? 4.5 5 Riki Ridwana “Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh, bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.