Kali ini kita akan melanjutkan pembahasan pada postingan sebelumnya.
Ketahuilah bahwa hanya ada empat skenario yang berjalan:
1. Kebaikan
dibalas kebaikan
2. Keburukan dibalas keburukan
3. Kebaikan dibalas keburukan
4. Keburukan
dibalas kebaikan
Skenario pertama dan kedua merupakan logika lurus,
siapapun pasti menyepakati memang sepantasnya perbuatan baik yang kita lakukan dibalas
dengan kebaikan, begitu halnya dengan amal buruk yang kita perbuat dibalas
dengan keburukan pula.
Tapi kita tidak perlu heran dengan adanya skenario nomor
tiga dan empat, sehingga muncul pertanyaan kenapa bisa terjadi demikian?
Tentunya kita sering mendengar hadits shahih yang
diriwayatkan Abu Hurairah ra. bahwa Rasul saw. bersabda yang intinya, ada Tiga
golongan yang pertama masuk neraka. Pertama, mereka yang berjihad di jalan
Alloh. Kedua, orang yang kaya raya lagi dermawan. Dan ketiga, orang yang
membaca, mempelajari, mengamalkan dan mengajarkan Al-Quran. Ketiga-tiganya
dijustifikasi oleh Allah sebagai pendusta, karena mereka berjihad ingin disebut
sebagai pemberani, mereka berinfaq ingin disebut dermawan, dan mereka
mengamalkan dan mengajarkan Al-Qur’an karena ingin disebut sebagai orang ‘alim.
Begitulah, mereka telah mendapatkan sebutan-sebutan itu (pemberani, dermawan,
‘alim) dari orang-orang semasa di dunia. Maka dari itu tak ada lagi balasan di
akhirat dan diseretlah mereka ke dalam neraka. Naudzubillah. (Skenario 3)
Jangan salah, ada juga orang-orang yang di dunia hidupnya
santai-santai saja, solat ke mesjid juga hanya sesekali, puasa dan solat sunah
apalagi tidak dikerjakannya, sehingga muncul celotehan dari kita, “ah dari
pintu surga mana yang akan dia masuki wong amal-amalannya juga biasa-biasa
aja?”. Inilah skenario akhirat, mereka ternyata masuk surga. Tidak hanya itu,
di surga sepasang orang tua ini dipasangkan mahkota kehormatan, apa sebab? Ya,
anak dari orang tua ini semasa di dunia menghafalkan, memahami dan mengamalkan
Al-Qur’an. Masya Allah. (Skenario 4)
Skenario nomor empat ada sekaligus menjadi pelajaran bagi
kita supaya tidak menganggap remeh terhadap amal seseorang, karena amal
seseorang yang nampaknya tidak seberapa, justru sangat boleh jadi dihadapan
Allah istimewa.
Atas amal duha dan tahajud yang terus menerus kita
lakukan akan menjadi wajar ketika harta jadi berlimpah, segala urusan menjadi
lancar, hajat kita terwujud. Begitupun setelah memperolehnya, keberlimpahan
tersebut ia gunakan untuk berinfaq sebanyak-banyaknya dan bersyukur bahwa
nikmat tersebut semata karunia Allah, maka jelas diakhirat ia akan mendapatkan surgaNya.
(Skenario 1)
Namun akan memperoleh surgakah orang yang menyatakan
kenikmatan yang telah diperolehnya itu akibat konsitensinya berduha dan
tahajud? Tidak. ‘Ujub telah muncul dalam dirinya, rasa bangga terhadap diri
atas apa yang diperolehnya itu menjerumuskannya ke dalam neraka. (Skenario 3)
Sekali lagi sebuah kewajaran apabila yang berbuat
kebaikan lalu dibalas kebaikan, dengan itu dia terus memelihara kebaikannya
hingga akhirnya dia dihantrakan ke surga. Namun ada yang perlu disoroti di
sini, bagaimana dengan kebaikan kita
terhadap seseorang yang dibalas oleh orang tersebut dengan keburukan?
(skenario 3) Inilah yang akan menghantarkan kita kepada surga yang lebih tinggi
dibanding dengan surga yang diperoleh pada skenario 1. Betapa tidak, lebih
sulit mana memberi kepada orang yang baik kepada kita atau memberi kepada orang
yang jelas-jelas jahat kepada kita? Senyum pada yang senyum atau senyum pada
yang manyun? Ya maka jelaslah, perbuatan tersebut akan berbuah surga yang lebih
tinggi dibandingkan dengan berbuat baik kepada yang baik kepada kita, daripada
memberi senyum kepada yang senyum kepada kita.
Jadi, sudah sewajarnya kita senang terhadap orang yang
berbuat baik kepada kita atas kebaikan yang telah kita perbuat terhadapnya. Namun
begitu juga seharusnya kita lebih-lebih senang terhadap seseorang yang berbuat
buruk kepada kita ketika kita telah berlaku baik terhadapnya. Karena apa?
dengan keburukan orang tersebutlah menjadi jalan bagi kita memperoleh surga
yang derajatnya lebih tinggi. Terlepas dari perbuatan buruknya sendiri, sudah
sepantasnyalah kita berterima kasih kepada mereka yang berbuat buruk kepada
kita.
So senang atau mangkel ketika kebaikan kita dibalas
keburukan oleh seseorang?hehe..
Ada sisi-sisi kehidupan yang penglihatan kita sering luput
terhadapnya. Padahal jika kita betul-betul menghayatinya akan menjadi peluang
meningkatkan derajat keimanan.
Sumber: Ringkasan Kajian Rabu 5 Desember 2013 Ba’da Isya bersama Ustadz Syatori Abdul Rauf di Mesjid Pogung Dalangan Sleman DIY
Baca juga,
tulisan sebelumnya: "Kebaikan Tak Mesti Berbalas Kebaikan"
tulisan berikutnya: "Agar Shalat Semakin Khusyuk"
tulisan sebelumnya: "Kebaikan Tak Mesti Berbalas Kebaikan"
tulisan berikutnya: "Agar Shalat Semakin Khusyuk"
Jangan salah, ada juga orang-orang yang di dunia hidupnya santai-santai saja, solat ke mesjid juga hanya sesekali, puasa dan solat sunah apalagi tidak dikerjakannya, sehingga muncul celotehan dari kita, “ah dari pintu surga mana yang akan dia masuki wong amal-amalannya juga biasa-biasa aja?”. Inilah skenario akhirat, mereka ternyata masuk surga.
BalasHapus