Ane akan buka cerita ber-seri ini dengan
sebuah pertanyaan, “Adakah diantara anda sekalian yang memiliki cita-cita jadi
tukang es?” ane kira semua pasti akan menjawab tidak ada. Tidak susah untuk
mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, kita semua sudah tahu ketika
siapapun ditanya tentang cita-citanya di masa kecil tidak ada satupun yang
menjawab ingin jadi “tukang es”, "bener kan?" pada umumnya kita bercita-cita jadi guru,
dokter, pilot, tentara, polisi, dan lain semacamnya, tidak ada yang
bercita-cita menjadi “tukang es”.
Sama seperti orang kebanyakan, ane juga
tidak pernah sedikit pun membayangkan menjadi “tukang es”. Cita-cita dari dulu
sudah digantungkan, ane ingin menjadi dosen dan alhamdulillaah sampai dengan
saat ini prasyarat untuk mencapai cita-cita tersebut sudah terpenuhi. Akan
tetapi apa pun rencana kita, Allaah lah sebaik-baik perencana. Di balik
cita-cita ingin menjadi dosen, dari dulu hati kecil ini ingin sekali menjadi
seorang pedagang seperti Muhammad shollalloohu ‘alayhi wasallam. Namun
keinginan itu seolah hanya sebatas keinginan, selalu saja ada halangan, entah
itu malu, ga berani memulai dan lain sebagainya. Hingga Allaah sampaikan pada
suatu kejadian yang memaksa ane mampu menghilangkan gengsi, melampaui apapun
yang menghalangi untuk mulai berdagang dengan mengucap bismillaah.
Berawal dari ketika masa mendekati 10 hari
terakhir bulan Ramadhan 1436 H. Ane berniat untuk i’tikaf di Masjid Utama Ma’had Ihya
Assunnah, –ane menilai masjid tersebut salah satu tempat yang paling kondusif
di Kota Tasikmalaya– namanya i’tikaf pasti ada akomodasi yang harus panitia
siapkan dan juga konsumsi untuk sahur dan berbuka puasa. (Lah apa hubungannya i'tikaf ama "tukang es" ko jauh amat?) “Sebentar... biar ane selesein dulu ceritanya.hehe..”
Untuk i’tikaf di tempat tersebut peserta diharuskan membayar minimal 100 ribu
rupiah, dari sinilah masalahnya mulai muncul. Waktu itu ane sama sekali tidak
punya uang sebanyak itu. (Dari gambaran tersebut bisa dibayangkan kan kondisi
ekonomi ane?hoho)
Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, pada saat yang bersamaan ane disodorkan ortu
sejumlah uang yang nominalnya jutaan rupiah. Saat itu ane sontak meminta 100 ribunya untuk bayar i’tikaf. Tapi apa jawaban spontan
ortu? “Tidak boleh, uang itu untuk beli pakaian lebaran!” sahut beliau, hiks...
sedih rasanya, padahal yang ane inginkan bukan pakaian lebaran hingga pada
akhirnya pun ane tidak mengambil uang itu untuk beli pakaian lebaran. Tapi ada yang
perlu digaris bawahi di sini bahwa, pernyataan itu hanya respon spontan dari ortu, beberapa waktu
kemudian beliau menawarkan uang untuk bayar i’tikaf, namun kemudian ane menolaknya
dengan halus, karena dari kejadian itu ane mulai berpikir untuk memperoleh uang
dengan upaya sendiri.
Qodarulloohu wama syafa’al, Allaah bukakan jalan
melalui seorang teman bernama Una yang bekerja di Campina. Singkat cerita
mulailah ane menjadi tukang es, mewujudkan cita-cita menjadi pedagang yang sejak dulu sangat sulit untuk memulainya. Hingga akhirnya keuntungan dari berdagang tersebut
dapat memenuhi kebutuhan untuk i’tikaf bahkan lebih banyak berkali-kali lipat,
sampai-sampai bisa mengumrohkan kedua orang tua (Hahaha... MIMPI...!!!) yang bener,
keuntungan dari berdagang es cukup juga buat ane bagi-bagikan untuk “THR”
sanak keluarga, alhamdulillaah. Bersambung...
Baca juga,
postingan sebelumnya: "Urgensi Mempelajari Nama dan Sifat Allaah (Asma wa Sifat)"
postingan selanjutnya: "Refleksi Peringatan Hari Kemerdekaan"
postingan selanjutnya: "Refleksi Peringatan Hari Kemerdekaan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar