(Peringatan Hari Lingkungan Internasional)
Oleh Riki Ridwana
Hymne Geografi
Karya : Dea Fauzia A & Ivan Nur Ramadan
Kami putra-putri geografi
Siap berbakti pada negeri
Menjaga ibu pertiwi
Dengan alam sebagai inspirasi
Kami insan jurusan geografi
Universitas Pendidikan Indonesia
Wujudkan mimpimu, raihlah anganmu
Bersama kami geografi
Kami insan yang cintai bumi
Jiwa peduli kian terpatri
Menjaga sampai ku mati
Engkaulah cintaku geografi
Peringatan hari lingkungan sedunia tanggal 5 Juni diselenggarakan di bawah kordinasi United Nations Environment Programme (UNEP), yang dibentuk PBB sejak 1977. Pada peringatan tahun 2010 ini, mengangakat tema ”Many Species. One Planet. One Future” (Banyak Spesies. Satu Planet. Satu Masa Depan). Sebagaimana dilansir dari situs resmi UNEP akan dipusatkan di kota Kigali, ibu kota Rwanda, sebuah negara di Afrika Timur.Tema ini diharapakan mampu mengajak seluruh dunia untuk melestarikan keragaman kehidupan di bumi. Memberikan kesadaran bahwa sebuah dunia tanpa keanekaragaman hayati adalah prospek yang suram. Jutaan orang dan jutaan spesies berbagi bersama dalam satu planet yang sama, dan hanya dengan bersama-sama kita semua bisa menikmati masa depan yang lebih aman dan lebih makmur.
Berbeda dengan UNEP, Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia (IMAHAGI Pusat) memperingati hari lingkungan sedunia dengan tema “ciptakan suasana blue, green, and clean untuk lingkungan Indonesia”. Pengertian sempit dari tema tersebut berarti biru untuk langit, hijau untuk ekosistem dan bersih dari sampah.
Gerakan aktivis di seluruh penjuru dunia mengekspresikan kepeduliannya terhadap lingkungan dengan cara yang berbeda-beda. Kenyataan ini merupakan bukti bahwa ada kekhawatiran akan kondisi lingkungan yang kian hari mengalami degradasi. Betapapun tidak, kita sendiri dapat merasakan akan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh efek rumah kaca yang berlebihan. Efek rumah kaca adalah istilah untuk menggambarkan tentang panas yang terperangkap dalam rumah kaca yang dipakai petani di negeri beriklim dingin. Jika rumah kaca sengaja memerangkap panas untuk menghangatkan suhu ruangan sehingga bisa menumbuhkan benih tanaman yang berada di dalamnya, maka panas yang terperangkap di atmosfer Bumi bisa mengubah iklim dan mengancam kehidupan. Panas matahari bisa terperangkap dalam atmosfer bumi disebabkan oleh peningkatan volume “gas rumah kaca” yang menyelubungi atmosfer, seperti kaca yang menahan panas sehingga tak bisa keluar. Beberapa contoh gas yang dapat menyebabkan efek rumah kaca adalah CO2, CH4, N2O, SF6, dan CFC. Gas rumah kaca bisa ditembus cahaya matahari, akan tetapi menahan panas matahari sehingga tak bisa lepas kembali ke luar angkasa.
Banyak sekali dampak yang muncul jika kita tetap acuh tak dan tidak ikut berpartisipasi dalam upaya menekan laju pemanasan global. Kepunahan manusia adalah konsekeuensi terbesar dan sebetulnya jalan menuju ke arah itu sudah mulai terlihat jelas. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa kenaikan suhu bumi periode 1990-2005 adalah antara 0,15-0,13 derajat celcius. Jika kondisi ini dibiarkan maka diperkirakan pada periode 2050-2070 suhu bumi akan naik sebanyak 4,2 derajat celcius. Padahal jika suhu bumi naik 2 derajal celcius saja, maka sebagian kehidupan di Bumi akan musnah.
Salah satu dampak yang dtimbulkan bagi negara kita apabila tidak ada upaya pencegahan adalah bahwa kita akan kehilangan sekitar 2.200 pulau karena permukaan lauu akan naki sampai 90 cm. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad ke-21 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 hektar.
Kota-kota pesisir seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, jelas terancam. Bahkan Banjarmasin, yang sebagian daratannya berada di bawah muka air laut, bisa benar-benar raib. Akan banyak wilayah pesisir perkotaan terendam dan akan terjadi pergeseran wilayah pantai. Karena setiap kenaikan 10 cm air laut akan menggenangi 10 meter persegi wilayah pesisir. Ini tentu akan memicu konflik di masyarakat dan problem sosial ekonomi yang dasyat.
Kenaikan air laut juga menurunkan pH air laut, setiap kenaikan 14-43 cm menurunkan pH air laut dari 8,2 menjadi 7,8. Akibat seriusnya adalah kerusakan terumbu karang. Hancurnya habitat terumbu karang akan mengancam kelangsungan ekosistem kehidupan di lautan.
Pemanasan global juga mengancam pasokan pangan. Dengan pola iklim yang tak menentu dan tingkat bencana akibat iklim yang meningkat, produksi pangan kita pasti akan terus merosot. Ketahanan pangan memang menjadi salah satu titik perhatian utama sebab kelangsungan negara ini tentu bertumpu pada ketersediaan padi disamping alternatif bentuk pangan lain seperti umbi-umbian dan biji-bijian.
Pemanasan global yang tak terkendali juga diperkirakan akan memicu munculnya wabah penyakit. Karena suhu semakin hangat, maka dengan sendirinya jentik nyamuk demam berdarah dan malaria akan memiliki siklus hidup yang lebih pendek dan masa inkubasi penularan yang lebih singkat. Ledakan populasi nyamuk berbahaya ini akan membahayakan bagi masyarakat. Belum lagi merebaknya jenis-jenis penyakit lainnya seperti diare, leptospirosis, asma, kanker kulit, penyakit paru, dan lain sebagainya.
Secara sederhana dapat disimpulkan, jika bumi terus memanas, maka Bumi akan seperti planet Mars atau planet-planet lain yang tak dapat dihuni umat manusia.
Sudah jelas bahwa kita bisa melakukan sesuatu untuk Bumi ini. Urusan perusakan hutan, kita sebagai individu memang tak bisa berbuat banyak. Masalah hutan terkait juga dengan masalah penegakan hukum, tata politik, dan juga masalah sosial-ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang dibiarkan hidup miskin.
Akan tetapi setidaknya kita bisa berbuat sesuatu dengan mengubah gaya hidup sehari-hari menjadi lebih hijau untuk mengurangi jumlah gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer akibat perbuatan kita sendiri. Misalnya, jika semua orang lebih memilih menggunakan kendaran umum daripada kendaraan pribadi, emisi karbon timbul dari perjalanan kita bisa berkurang. Dengan tidak menggunakan AC yang boros listrik, kita bisa menghemat 11 persen penggunaan energidi rumah. Dengan mengurangi sampah, kita membantu mengurangi emisi gas metana, gas rumah kaca yang timbul akibat pembusukan sampah.
Kita barangkali paham tentang pengetahuan dasar mengenai hal itu, tapi kita selalu saja sulit meninggalkan kebiasaan lama itu menuju kebiasaan baru yang lebih ramah lingkungan.
Banyak orang yang berpikir bahwa upaya untuk menyelamatkan bumi seolah berarti melawan dorongan untuk bernyaman-nyaman sebagai manusia modern. Karean itu artinya seolah kita disuruh mematikan AC bahkan di siang hari yang gerah, tak lagi mengendarai mobil pribadi di jalanan yang berdebu dan panas, memilih menggunakan bus kota yang penuh sesak, harus berbasah keringat karena bersepeda atau berjalan kaki ke tempat kerja, kuliah, atau sekolah, memilih makanan sendiri dengan bahan yang ditanam petani lokal dibandingkan pangan impor dari negeri yang jauh, tak lagi membuang sampah sembarangan atau membakarnya tetapi mengolahnya menjadi kompos, dan seterusnya.
Sebagian anggapan itu memang benar, tapi tidak sepenuhnya tepat. Sebenarnya yang diperlukan adalah kemauan untuk meggeser zona nyaman dan sedikit menggunakan kreativitas. Misalnya, kita bisa saja tetap nyaman tanpa AC bila tempat tinggal kita dirancang dengan pola penghawaan alami yang baik. Bus Trans Jakarta dan Kereta Api Listrik AC nyatanya bisa menjadi sarana transportasi yang nyaman, murah, dan bebas macet. Bahkan sepeda kini menjadi alat transportasi ke tempat kerja yang semakin digemari, dan anggota komunitas Bike To Work (B2W) di Indonesia semakin banyak.
Pada akhirnya, sebagai individu kita bisa berperan banyak untuk menjaga lingkungan tanpa mengorbankan kenyamanan.
Penulis, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS
Universitas Pendidikan Indonesia
Bacaan:
Arif, A., I. Permanasari., R. Badil. 2009. Hidup Hirau Hijau: Langkah Menuju Hidup Ramah Lingkungan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
SATU TUJUAN UNTUK LINGKUNGAN
Tema: GEOGRAFI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar