Gunung Tilu dan Gunung Waringin

 

Menyibak Potensi

Gn. Tilu dan Gn. Waringin




Pagi cerah menyingsing di langit Bandung Selatan 2 April 2011, menyertai kami yang terbangun dan bergegas memasak untuk sarapan pagi. Tepat di halaman barat mesjid kompleks “Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK)” 1 buah tenda dome dan flysheet berdiri sejak kemarin malam, sebagai basecamp pendakian yang cukup strategis dekat dengan sumber air, warung, dan tentunya mendekati puncak Gunung Tilu dan Waringin. Lokasi tersebut dipilihkan oleh petugas security yang masih berdomisili di daereh setempat yaitu Kampung Gambung Desa Mekarsari Kecamatan Pasir Jambu. Menurut masyarakat setempat penamaan gambung berasal dari keberadaan pohon gombong di daerah tersebut, ada pula yang menyebutkan bahwa Kampung Gambung merupakan tempat bergabungnya jalmi luluhung (orang berilmu tinggi) pada waktu dulu.


Dari sana kedua gunung itu nampak jelas Gunung Tilu memiliki tiga puncak sesuai dengan penamaan sundanya (tilu = tiga), sedangkan Gunung Waringin terpampang ke arah Barat Daya yang nampak tak berbentuk kerucut melainkan agak berpuncak rata meskipun tak serata puncak Gunung Tangkuban Parahu penyangga Bandung di bagian utara. Banyak alternatif cara untuk sampai di Kampung Gambung. Jika berjalan kaki dapat ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 jam, atau akan lebih cepat dengan menggunakan angkutan sejenis angkot dengan biaya Rp.3000/orang atau Rp.5000/orang dengan memanfaatkan jasa tukang ojeg dari pertigaan Jalan Cisondari.


Bagi masyarakat setempat, alam sekitar cukup memberikan penghidupan dalam hal mata pencaharian sebagai buruh tani teh, kina, dan juga kopi। Memang sudah begitu sewajarnya karena sejauh mata memandang, hamparan hijau perkebunan teh yang didirikan seorang keturunan Belanda bernama Rudolf Ker Covn, menutupi sebagian besar permukaan bukit-bukit bergelombang di lereng-lereng puncak tertinggi Gunung Tilu 2074 mdpl dan Gunung Waringin yang tidak kurang dari 2020 mdpl. Namun ada pula sebagian kecil dari bukit-bukit di Lereng Gunung Waringin yang di tanami oleh tanaman cabe, kol, kentang, dan tomat.



Layaknya masyarakat pedesaan, mereka bersikap ramah, bertegur sapa dengan pendatang baru dan mau membantu keperluan logistik maupun akomodasi। Sangat merasakan kenyamanan datang dan singgah di kampung tempat tinggalnya Abah Abi sang kuncen kedua gunung tersebut.


Abah Abi banyak menumpahkan informasi seputar lingkungan sekitar tempat tinggalnya kepada kami. Kuncen kedua Gunung itu mengaku pernah bermimpi bertemu dengan Tunggul Betung Syeh Abdullah Mataram yang ada kaitannya dengan Sunan Ampel Demak salah satu dari Wali Songo. Maka setelah itu, sejak tahun 1976 beliau membangun pemondokan di puncak Gunung Waringin sebagai tempat beribadah dan membantu mendoakan orang-orang yang membutuhkan pertolongannya dalam berbagai hal keduniawian, ujarnya. Tidak banyak yang di utarakan tentang Gunung Tilu oleh sosok yang pada saat itu mengajak remaja belia ke puncak waringin, hanya berkomentar bahwa jalan menuju puncak Gunung Tilu tidak bagus dan tidak terdapat pemondokan seperti di Gunung Waringin, pungkas pria yang berusia genap 70 tahun itu.



Memang tidak salah apa yang disampaikan oleh tokoh yang dihormati di Kampung Gambung itu, Jika di bandingkan pemuncakkan ke Gunug Tilu lebih menguras tenaga dari pada pemuncakkan ke Gunung Waringin. Bukan hanya dari soal ketiga puncaknya, akan tetapi kecuraman yang dimiliki bisa mencapai 70° lebih yang membuat fisik lelah, ditambah lagi sumber air yang tersedia hanya berada di basecamp terakhir sehingga berat beban persediaan air yang di bawa tim semakin bertambah. Selain itu gangguan fauna kecil dalam hal ini pacet turut mengganggu kenyamanan pendakian dan apabila tidak berhati-hati tumbuhan berduri akan menggoreskan luka pada kulit pendaki yang tidak menutup rapat bagian tubuhnya. Meskikpun demikian pemuncakkan hanya membutuhkan waktu dua setengah jam tepat dari basecamp terakhir. Sesampainya di puncak hilang semua cape terbayar oleh kenikmatan yang tak dapat diungkapkan. Di puncak pula dapat ditemui sebuah makam yang menurut masyarakat setempat adalah seorang keturunan Belanda yang berukuran 1 x 2,5 meter serta dikeramatkan oleh sebagian orang. Hal tersebut terbukti dengan sesajian yang masih tersisa di atas makam tersebut seperti secangkir kopi dan buah-buahan.



Berbeda dengan Gunung Tilu, pemuncakan Gunung Waringin hanya menghabiskan waktu satu setengah jam masih dari basecamp yang sama। Ketersediaan air yang melimpah sampai dengan puncak dan melewati jalan yang terbuka jelas dengan indahnya pemandangan perkebunan, bukit-bukit bergelombang, semakin memberikan kesan perjalanan yang nyaman dan tenang bagi para pendaki. Meskipun demikian tidak untuk mengurangi kehatia-hatian dan persiapan yang matang karena tidak menutup kemungkinan terjadi kekeringan pada musim kemarau atau pada musim hujan terjadi longsoran mematikan, mengingat lereng gunung tidak banyak ditumbuhi pohon-pohon konservatif lagi. Di puncak Gunung Waringin dapat ditemui sebuah pemondokan lengkap dengan pemandian seadanya ala perkampungan dan dihiasi oleh bebatuan lebar dan rata yang konon tempat solatnya Tunggul Betung Syeh Abdullah Mataram. Di samping bebatuan itu pula syeh kini di makamkam ditutupi oleh kelambu putih yang sudah kusam.



Dua malam sudah kami lewati dengan penuh keceriaan oleh berbagai hal-hal yang kami temui dan sambutan cuaca yang bisa di ajak kompromi. Selepas ashar, tim pulang kembali berjalan kaki menyusuri perkampungan Gambung hingga pertiggan jalan Cisondari dan akhirnya naik angkutan umum ke Soreang dilanjutkan dengan angkutan kota sampai dengan Leuwi Panjang dan berkahir dengan boking angkot sampai dengan Ledeng. Tidak lebih dari Rp.14.000 uang yang kami habiskan untuk tiba di peraduan masing-masing berbarengan dengan kumandang adzan Isya.

Gunung Tilu dan Gunung Waringin 4.5 5 Riki Ridwana Menyibak Potensi Gn. Tilu dan Gn. Waringin Pagi cerah menyingsing di langit Bandung Selatan 2 April 2011, menyertai kami yang terbang...


4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.