Penulis: Riki Ridwana,
S.Pd., M.Sc
Disampaikan pada acara Himpunan Mahasiswa Geografi
Departemen Pendidikan Geografi Universitas
Pendidikan Indonesia
rikiridwana@upi.edu
1.
Konsep
Toleransi
Sesederhana mie goreng
dan mie kuah atau sesimpel cara makan bubur ayam yang diaduk dan tidak diaduk.
Setiap orang memiliki selera dan kebiasaannya masing-masing, dimana satu dengan
yang lainnya tidak bisa saling memaksakan untuk mengikuti apa yang menjadi
selera dan kebiasaannya kepada orang lain. Itulah analogi sederhana dari sebuah
konsep yang disebut toleransi.
Toleransi berasal dari
Bahasa latin “tolerare” yang artinya sabar dan menahan diri atau
membiarkan terhadap sesuatu yang terjadi. Dalam Bahasa Arab toleransi adalah tasamuh, as-samahah yang berarti konsep
modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di
antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa,
budaya, politik, maupun agama.
Manusia adalah makhluk
sosial yang berbeda dengan makhluk hidup lain, mempunyai pikiran, akal, dan
perasaan. Akan tetapi dengan segala pikiran, akal, dan perasaannya manusia
tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain atau manusia
lain dalam hidupnya. Oleh karena itu manusia disebut sebagai makhluk
sosial. Akibat dari pergaulannya dengan manusia lain, maka kehidupannya
tidak selalu berjalan mulus. Beberapa di antaranya akan timbul persinggungan
dan gesekan dengan manusia lain. Karena setiap manusia pada dasarnya
unik, dan tidak bisa disamakan.
Untuk menghindari
persinggungan atau gesekan dengan manusia lain atau kelompok masyarakat lain,
maka dikembangkan sikap hidup toleransi. Sikap yang harus dimiliki setiap
manusia bila ingin hidupnya berhasil di tengah-tengah masyarakat. Sikap
tolerasni ini juga hadir karena keanekaragaman manusia, baik secara fisik,
akal, perasaan, pendapat, hingga perbedaan suku, warna kulit, ras, dan agama.
Menumbuhkan toleransi
dalam setiap perbedaan dapat diraih setidaknya dengan mengembangkan berbagai
sikap, antara lain:
Menghargai
Pendapat Orang lain
Menghormati Orang
lain
Saling Menjaga
Orang lain
Membantu saat
sedang Kesusahan
Tidak membeda
bedakan (Suku, Agama, Ras, dan Budaya
Bersikap Peduli
Bersikap Jujur
Bersikap Adil
2. Toleransi dalam Islam
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9). Ayat ini mengajarkan prinsip
toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak
ada sangkut pautnya dengan hal agama.
Menurut ajaran Islam,
toleransi bukan saja terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam
semesta, binatang, dan lingkungan hidup.
Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka toleransi antar-umat
beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi
beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan manusia terhadap
Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah membakar konflik sehingga
menyedot perhatian besar dari Islam.
Secara doktrinal,
toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah
“damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering
dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang
mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama
yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling
menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan
keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam
al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, “dan Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?” (QS.Yunus [10]: 99).
Saling menghargai dalam
iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari
prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada
Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan
amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi
anfa’uhum li’iyālihi” (“Semua makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling
dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”). Selain
itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man
fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan
sayang pula mereka yang di langit kepadamu).
Fakta historis toleransi
juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah.
Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang
pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah. Di antara butir-butir
yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara
agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang
terikat dalam Piagam Madinah. Dimana pada waktu itu Nabi memimpin negara kecil
Madinah yang di dalamnya hidup rukun umat islam, nasrani, dan yahudi.
Sikap melindungi dan
saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul
dalam sejumlah Hadits dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai
bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya
seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib
orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di
hari pembalasan”. Di sini, saling tolong-menolong
di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah
satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama
lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menjadi prinsip yang
sangat kuat di dalam Islam.
Sejarah Islam adalah
sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arabia
yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal
lil’alamin (pengayom semua manusia dan alam semesta). Ekspansi-ekspansi Islam
ke Siria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia, dan ke seluruh dunia dilakukan melalui
jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka (penduduk taklukan)
sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi
intensif dan dialog. Seperti Amirul Mu’minin Umar Ibn Khattab Radhiyallahuanhu
menerima kunci-kunci pintu Palestina dari pendeta nasrani dengan terhormat dan
tetap membiarkan agama lain beribadah dan bernafas lega.
Kondisi ini berjalan
merata hingga Islam mencapai wilayah yang sangat luas ke hampir seluruh dunia
dengan amat singkat dan fantastik. Memang perlu diakui bahwa perluasan wilayah
Islam itu sering menimbulkan peperangan. Tapi peperangan itu dilakukan hanya
sebagai pembelaan sehingga Islam tak mengalami kekalahan. Peperangan itu bukan
karena memaksakan keyakinan kepada mereka tapi karena ekses-ekses politik
sebagai konsekuensi logis dari sebuah pendudukan. Pemaksaan keyakinan agama
adalah dilarang dalam Islam. Bahkan sekalipun Islam telah berkuasa, banyak
agama lokal yang tetap dibolehkan hidup. “Tidak ada paksaan dalam memeluk
agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah
[2]: 256). Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam
memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya
dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari). Ibnu Katsir
menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah
jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi
memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh
Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga
ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan
oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa
mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir).
Selanjutnya, dalam
sejarah penyebaran Islam di Nusantara, ia dilakukan melalui perdagangan dan
interaksi kawin-mawin. Ia tidak dilakukan melalui kolonialisme atau penjajahan
sehingga sikap penerimaan masyarakat Nusantara sangat apresiatif dan dengan
suka rela memeluk agama Islam. Sementara penduduk lokal lain yang tetap pada
keyakinan lamanya juga tidak dimusuhi. Di sini, perlu dicatat bahwa model
akulturasi dan enkulturasi budaya juga dilakukan demi toleransi dengan
budaya-budaya setempat sehingga tak menimbulkan konflik. Apa yang dicontohkan
para walisongo di Jawa, misalnya, merupakan contoh sahih betapa penyebaran
Islam dilakukan dengan pola-pola toleransi yang amat mencengangkan bagi
keagungan ajaran Islam.
Secara perlahan dan
pasti, islamisasi di seluruh Nusantara hampir mendekati sempurna yang dilakukan
tanpa konflik sedikitpun. Hingga hari ini kegairahan beragama Islam dengan
segala gegap-gempitanya menandai keberhasilan toleransi Islam. Ini membuktikan
bahwa jika tak ada toleransi, yakni sikap menghormati perbedaan budaya maka
perkembangan Islam di Nusantara tak akan sefantastik sekarang.
Toleransi dalam Islam
adalah otentik, artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam
itu ada. Maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan
komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten. Namun, toleransi beragama menurut Islam
bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar
keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini
adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas
bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana
masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling
menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun
hak-haknya. Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena
pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a
historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal.
Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam
telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah
peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.
3. Toleransi Kebablasan
Bertoleransi yang ada
saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja memberi selamat
kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga mengucapkan
selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid bin Mughirah,
Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan pada beliau,
“Wahai Muhammad,
bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga
beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama
kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami)
dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada
dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).
Itulah prinsip toleransi
yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah pun
menurunkan ayat, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai
orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun:
1-6).
Jangan heran, jika non
muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang kita rayakan.
Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal
mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada
nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun bagaimanakah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu?
Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin,
bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka
beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa
ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk tolong menolong
lainnya.
Permasalahan justru
muncul ketika kaum munafikin yang sejak zaman nabi ada hingga saat ini terus
menggerogoti islam dari dalam. Mereka merancukan konsep toleransi yang benar
dalam islam, sehingga berdampak kepada kesalahpahaman antara non muslim
terhadap muslimin yang berpegang teguh terhadap lurusnya keislaman mereka. Salah
satu contoh gampangnya seperti pengucapan selamat hari raya kepada non muslim
dibolehkan oleh orang-orang munafik di Indonesia, hal tersebut berdampak pada umat
muslim yang tidak mengucapkan selamat natal dicap intoleran bahkan radikal,
sehingga dengannya kerukunan umat beragama di Indonesia yang dulunya rukun
menjadi ternodai. Padahal jelas dalam QS. Al Ikhlas dan QS. Al Kafirun bahwa
umat islam memiliki keyakinan untuk tidak ikut-ikutan dalam perayaan ataupun
ritual agama lain, begitu juga umat islam tidak boleh capek-capek mengajak
orang non muslim mengikuti perayaan umat islam. Ibnu Jarir Ath Thobari
menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama
kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang
kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam
di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak
meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku
tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14:
425).
Logika mana yang bisa
menerima bahwa mayoritas harus mengikuti minoritas, begitu juga sebaliknya umat
muslim yang mayoritas di Indonesia tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada
umat lain yang minoritas. Sehingga menjadi refleksi bersama adalah bagaimana
bisa orang-orang muslim yang bekerja di tempat-tempat yang dimiliki oleh orang-orang
non muslim memakai atribut-atribut perayaan hari raya mereka. Kalaulah
toleransi itu dimaknai dengan benar maka setiap umat beragama akan saling
menghormati dan menghargai serta tidak memaksakan kehendaknya sendiri.
Satu kesalahan besar bila
kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan mereka, termasuk juga
mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman kita masuk toilet
lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia masuk toilet, maka
biarkan ia tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau temani temannya juga
untuk lepaskan kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa seorang muslim tidak
perlu mengucapkan selamat natal. Yang kita lakukan adalah dengan toleransi
yaitu kita biarkan saja non muslim merayakannnya tanpa mengusik mereka. Jadi
jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala orang-orang JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti toleransi dalam Islam
yang sebenarnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan
sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab
mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al
Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Janganlah kalian masuk pada non muslim
di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun
murka Allah.”
Juga sifat ‘ibadurrahman,
yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya
mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan
tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan.
Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara
maksiat lebih-lebih acara kekufuran. “Dan orang-orang yang tidak memberikan
menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud
menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi,
jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu
musibah dan bencana besar.
Daftar
Referensi
Prince, Emma Sue. 2017. The Advantage, Jakarta: Bumi
Aksara.
Yahya, Buya. [Online,
6 Januari 2020, https://www.youtube.com/watch?v=ODIrNpghjpk]
Toleransi Beragama dalam Islam.